Arden meninggalkan ruangan tersebut. Sebuah bangunan besar
mirip gudang. Yang telah ditinggalkan pemiliknya bertahun-tahun lalu
mungkin. Ruangan gelap penuh dusta, kebohongan dan amarah. Yang di
sudut-sudutnya bergelantungan banyak sarang laba-laba, di setiap inchi
lantainya penuh dengan debu tebal berwarna hitam. Aroma ruangan itu juga
sangat menyiksa hidung. Bau kotoran tikus dan lembab karena disfungsi
ventilasi. Apalagi ditambah dengan bau darah segar yang membasahi salah
satu sudut ruangan tersebut. Seonggok mayat laki-laki yang tercelup di
atasnya. Belum kaku, masih hangat dan berbau anyir darah. Arden mengusap
hidungnya menggunakan lengan jaketnya, yang menjadi satu-satunya bagian
dari jaket jeansnya yang tidak kotor terkena debu dari ruangan. Dia
terus melangkah keluar. Ke arah jalan kecil dan menuju ke arah selatan.
Hujan deras dan dinginnya malam di Cinunuk menjadi penambah rasa bagi
panjangnya malam ini untuknya. Tersenyum, puas dan seperti hidup untuk
kedua kalinya.
“Mau sampai kapan kamu mandangin dia terus Den?” tanya Raflee dengan
nada canda. “Ah sialan kamu. Sarapan pagi ini aku hahaha.” jawab Arden
sekenanya. Gelak tawa membahana di gedung studio
FSRD ITB. Ruangan besar yang menjadi bengkel kreatif untuk segala
keperluan. Seni rupa, musik, teather, fotografi dan apapun yang bisa
dikerjakan di sana. Termasuk masak, tidur, nongkrong, bahkan bercinta.
Para mahasiswa FSRD memang terkenal dengan penampilannya yang eksentrik.
Lihat saja dua pentolan FSRD tahun ini, Arden Wijaya Kusuma dan
Yohannes Lukas ‘Raflee’ Fianda, yang kemarin baru saja sukses memenangi
Rights Independent Concept Art Exhibition di Kuala Lumpur,
Malaysia. Mereka dan timnya, dengan konsep ‘keadilan ortodoks’ yang
diangkat menjadi sebuah pementasan teather modern yang menggabungkan
teather dengan seni rupa berupa hiasaan dan rias pada pemainnya juga
kombinasi musik klasik, berhasil menggaet posisi utama. Tak rugi jika
mereka kerap menghabiskan waktu siang malam setiap hari ditemani kaos
oblong, celana jeans gembel, dan ber pak-pak rok*k, entah L.A atau
sekedar kretek murahan biasa. Tak perlu kaget juga jika potongan rambut
mereka juga tidak kalah kreatif dan eksentrik dari karya-karyanya.
“Lhooo.. udahan Den?” tanya Raflee melihat sahabatnya berlalu. “Iya, gak kuat aku kalo lama-lama ngliatin dia terus. Bisa-bisa aku jadi h*rny nih, gawat kan kalo artis FSRD mast*rbasi di studio.” “Hahahahaha dasar kau. Makin gila
aja lama-lama.” Raflee ikut beranjak dan merangkul pundak sahabatnya
itu. “Aku traktir di kantin, oke?” tanyanya. “Hahaha mau ditraktir
perempuan ato jajanan ini?” “Mana ada kantin yang jualan perempuan,
bego! Ahahaha.” Raflee tertawa lalu menjitak kepala Arden. “Aku traktir
perempuan pun kamu pasti juga gak akan mau kan? Hahahaha kamu kan hanya
untuk Yella tersayang?” goda Raflee. Sejenak Arden diam. Wajahnya kuyu
seperti kehilangan energi. Ekspresinya menggambarkan dia berfikir.
Matanya kosong. “Iya. Raf, semoga lah.” Ujarnya pelan. Raflee memandang
mata Arden dalam. Entah apa karena Arden memang seorang maestro
sandiwara atau memang itulah adanya, meskipun Raflee mencari-cari
kesedihan dalam matanya, dia tidak menemukannya secuil pun. Hanya sinar
datar dan tanpa makna yang bisa dia tangkap dari mata sahabatnya itu.
“Semangatlah brother, bakalan aku dukung selalu kok.“ Arden hanya
tersenyum karena menangkap sedikit getar dari kalimat penyemangat Raflee
barusan. “Eh, mau pesen apa, Den?” Pada akhirnya mereka sadar jika
sepatu mereka telah menginjak lantai kantin dari tadi. Arden menghela
nafas agak panjang, “Mie bakso aja Raf.” Ujar Arden dengan senyum lebar
di wajahnya. “Pedes yah.”
“Jangan, Raf. Please, aku engga mau lagi, udah cukup aku kayak
begini.” Yella menangis mengiba. “Oh, jadi sekarang kamu mau nolak aku?
Bukannya perjanjian kita sudah jelas ya? Kalo emang kamu mau seisi
kampus tahu kalo selama ini sekolah kamu, hidup kamu, aku yang bayarin
dan kamu harus jadi ‘budak’ aku buat ngeganti itu semua?” Raflee gusar.
Entah karena marah atau entah karena hasratnya yang jadi tertunda untuk
dilampiaskan. “Aku sekarang udah dapet sampingan Raf. Aku udah gak perlu
bantuan kamu. Aku udah gak mau diperlakuin kayak pel*cur gini!” nada
Yella meninggi. Raflee tertawa. “Bukannya kamu memang pel*cur ya? Dateng
ke aku, minta bantuan dengan jaminan apapun kan? Jadi kalo memang ini
yang aku minta, kamu engga bakal pernah punya pilihan lagi selain
nurutin mau aku, ato mati malu di depan semua mahasiswa!” “Aku gak mau
bohongin Arden lagi! Cuma itu!” Sejenak Raflee diam. Ekspresinya datar,
tapi sepersekian detik berikutnya menjadi marah. Sangat marah. “Persetan
sama dia! Dasar pel*cur sok suci!” ‘PLAK!’ Raflee menampar Yella. Tubuh
moleknya berdebum membentur lantai. Yella tersungkur, Raflee
mengangkatnya ke atas kasur. Apa yang bisa dia lihat selanjutnya adalah
ruangan yang memudar, menghitam kabur karena kepalanya yang membentur
dinding. Lalu jutaan pengulangan memori sakit dan penyesalan masa
lalunya di menit-menit berikutnya memenuhi pikirannya, berjubel, seperti
buih botol soda. Dia tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa menahan
sakit, baik fisik maupun hatinya, yang seperti tersayat-sayat silet
berkarat ketika Raflee mulai menikmati setiap inchi tubuhnya. Berharap
toleransi Tuhan membebaskannya dari dosa. Menangis, menyesal, karena
telah membuang diri ke tangan yang salah. Tangan yang kotor.
“Anjeh ah, kemana aja Raflee ini kok di-sms daritadi gak ada bales.
Katanya mau bikin proyek? Ckck.” Gumam Arden sambil merebahkan tubuhnya
ke kasur. Selesai sudah dia membuat bab satu dari skripsinya. Penelitian
tentang kecenderungan pekerja seni menggunakan lagu atau sandiwara
dalam unjuk rasa menuntut keadilan. Ditemani lampu meja kecil di sudut
meja kecil di 2 x 4 meter kamar kosannya. Di kawasan Dago bawah,
tepatnya di daerah Purnawarman. Komplek perumahan para perwira angkatan
darat yang sekarang berubah wujudnya menjadi komplek pertokoan dan mall
mall tinggi menjulang. Rumah yang menjadi kosannya sendiri adalah milik
almarhum purna TNI Angkatan Darat. Walaupun disebut rumah, struktur
rumah kosannya malah lebih mirip rumah sakit jaman dulu. Ketika
diverifikasi ke pemiliknya, ternyata memang benar dulu bangunan ini
adalah rumah sakit untuk kalangan pribumi saat masa penjajahan dulu.
Pantas saja jika malam-malam sering terjadi kejadian yang mengerikan.
Pernah suatu malam, hujan deras, terdengar suara kaki berjalan dengan
menggunakan tongkat berbunyi ‘tuk.. tuk.. tuk’ di sepanjang koridor
ruangan. Menimbulkan kengerian yang mencekam. Akhirnya semalaman Arden
tidak berani keluar kamar. Tidak tahan karena ngeri, paginya Arden
memverifikasi kejadian itu. Dan ternyata suara tersebut adalah suara
langkah ibu kosnya sendiri, karena memang suka jalan-jalan di malam hari
saat semua terlelap. Benar-benar hobi yang aneh.
Bosan menunggu, akhirnya Arden memutuskan untuk ke teras depan. Duduk santai menyalakan sebatang LA Lights dipadu dengan kopi hitam yang dia buat sendiri sebelumnya. Matanya melirik ke arah jam
di tangannya. “Lho.. sudah jam setengah dua belas rupanya.” Gumamnya
dalam hati. Dia lalu memandang ke sekitar. Gelap. Hanya lampu teras
tetangga depan yang menyala selain lampu di atas kepalanya. ‘Ngiiiing…
bwuuusshhh…’ sebuah pesawat terbang melintas di langit. Sayap kanan dan
kirinya berkedip-kedip oleh lampu. Merah-hijau merah-hijau. Begitu
kombinasinya. Sayap belakangnya juga. Berkedip-kedip seperti traffic
light di atas langit. Saat mendongak ke atas, mata Arden terpikat oleh
sinar biru banner besar bertuliskan ‘Bandung Electronic Center’
yang dipasang di tembok luar sebuah gedung mall. Sembari menghisap
rok*knya, dia berpikir. Mencoba mengingat sesuatu. 2 detik kemudian dia
teringat jika beberapa waktu yang lalu Yella bercerita padanya melalu
sms jika dia sekarang mendapat pekerjaan sebagai pegawai di sebuah gerai
handphone di BEC. Mall besar pusat elektronik tetangga kosannya.
Perasaanya/mengembang. Merasa sangat senang, karena berarti, setiap dia
pulang ke kosannya, dia bisa sekalian mengantar Yella pergi bekerja. Dan
saat malam, dia bisa selalu mengantar Yella pulang ke rumah neneknya di
Dago atas.
Seharusnya dimulai tadi, rutinitas paling menyenangkan dalam hidupnya
dia mulai. Tapi sepulang kuliah tadi Yella mengaku dia ada suatu
keperluan dengan saudaranya yang datang dari luar
kota. Entah apa detailnya, dia enggan bercerita. “Duh kok jadi
kepikiran ya…” pikir Arden. Dia lalu merogoh saku boxer nya, mengambil
hape, lalu mengetik sms untuk Yella. “Jangan tidur dulu… sayang…
hihihi.” Canda Arden dengan dirinya sendiri. Sambil senyum-senyum, Arden
lalu memainkan kedua jempolnya di deretan papan qwerty handphone E63
miliknya. dia lalu membaca sekali lagi sms nya sebelum menekan tombol
send. Memastikan semua kata-katanya tepat dan sempurna untuk dibaca
Yella, pujaan hatinya.
Yella sayang… hehe gk papa kn ak pnggl sayang? :)
Km blm tdur kah? Aa’ ama Xeon item aa’ masi terjaga bwt km
klo km btuh dianter plng ato gmn…Yella, ak kangen..
Can’t wait for 2morrow, hope ds nite i can see you evn
4 awhile :)
Km blm tdur kah? Aa’ ama Xeon item aa’ masi terjaga bwt km
klo km btuh dianter plng ato gmn…Yella, ak kangen..
Can’t wait for 2morrow, hope ds nite i can see you evn
4 awhile :)
Yella menangis di sudut kamar. Salah satu kamar dari besar rumah
milik keluarga Raflee. Karena keluarganya yang lebih memilih tinggal di
luar negeri, rumah mereka di Bandung
hanya ditinggali oleh Raflee dan dua pembantunya yang setia. Setia
untuk selalu tutup mulut mengetahui ulah majikannya. Yang mereka tahu,
mereka bekerja, mereka dibayar, begitu saja. ‘…drrtttt… drrrtt..’
handphone Yella bergetar. Dengan lemah, Yella menguatkan diri utnuk
merentangkan lengannya. Mengambil sebuah Black Berry, yang juga
merupakan ‘hadiah’ dari Raflee, dari atas meja. Sms dari Arden. Yella
tak kuasa lagi untuk menahan air matanya saat membaca huruf demi huruf,
kata demi kata sms tersebut. Memang sedari tadi dia menguatkan diri agar
tidak terlihat lemah di depan bajingan yang baru saja memperk*sanya.
Tapi kali ini dia runtuh. Air matanya mengalir di wajah jelitanya yang
kini pucat dan memar di beberapa bagian hasil karya tamparan Raflee.
Raflee duduk di kasur menghisap rok*knya. Memasang tampang sok tidak
peduli, tapi dia geram juga lama-lama. Dia lalu menghampiri Yella.
Mencoba merangkul tubuhnya yang hanya tertutup selimut, walaupun pada
akhirnya selalu ditolak. Raflee lalu mencium bibir Yella, mencoba
menggombal dan mengerti perasaanya. “Aku tu sayang sama kamu… makannya
aku bantuin kamu, Yell.” Katanya sambil terus mencoba mencium bibir
Yella lagi. Yella tetap menangis, ekspresinya marah. Dia menggeleng dan
mendorong muka Raflee. “…ini semua, Cuma bonus yang kamu beri ke aku
kan? Ingat siapa dulu yang memulai ini semua.” Perkataan Raflee barusan
menyodok hati Yella, dia terdiam. “Ini.. buat kuliah kamu bulan ini..
dan buat jajan sama Arden.” Raflee meninggalkan belasan lembar uang
seratus ribuan di dekat Yella. Dia beranjak, berpakaian. “Aku ngga butuh
uang kamu..!” sambil terus menangis Yella mencoba mengeraskan volume
suaranya. Mencoba agar dia terdengar marah. Tapi nihil. Yang keluar
malah nada parau yang serak. Jarinya mengetik sms untuk Arden,
satu-satunya orang yang ingin dia temui sekarang. Hujan turun.
Arden diam. Yella diam.
Hanya bunyi hujan deras di luar yang bersuara. Diiringi suara detik jam
dinding yang menunjukkan pukul setengah satu lebih. “Lebih baik kamu
ganti baju kamu, basah gitu. Pake baju aku aja ya, gak apa apa kan?”
Ujar Arden sembari membuka lemari pakaiannya. “Pakai kaos aku dulu ajah
yah. Ada kok yang udah kekecilan buat aku. Tapi bawahannya… adanya ya
cuman boxer.” Nada Arden mencoba menghibur Yella. Yella tersenyum, namun
tak kuasa menahan peraasaannya. Butir-butir air mata mulai turun di
pipinya. “Jangan amenangis seperti itu. Harusnya kamu lega kan sudah
berbagi beban ini ke aku. Ini, gantilah. Aku tunggu di luar ya. Ketuk
pintu kalo udah selesai. Aku engga mau bikin satu rumah bangun semua.”
Ujar Arden tenang. Tangannya mengepal di sakunya. Yella lalu mengangguk
pelan. Arden keluar kamar.
“Jadi dimana dia sekarang?” tanya Arden. Ekspresinya kalem, tenang,
dan teduh. Membuat Yella sangat ingin untuk memeluk tubuhnya. Bersandar
di bahunya. Bahu Arden. Walau ia tahu Arden tak akan mengijinkannya.
Sang pujangga FSRD yang selama ini dia idolakan. “Dia di Cinunuk. Ada
sebuah villa lagi milik keluarganya di sana. Mungkin dia sedang bersama
korban lain selain aku, a’.” Ujar yella pelan. Tubuhnya masih bergetar
hebat. Arden merengkuh bahu Yella, lalu menatap matanya lekat-lekat.
Mata bundar dan bening, dihiasi bulu mata lentik yang sangat cantik,
yang selalu memukau hati setiap lelaki yang memandangnya. “Tutupi dirimu
dengan beberapa lapis selimut. Ketika besok pagi ada yang membangunkan,
pura-puralah tetap tertidur. Oke?” kata-kata merdu Arden mengalir penuh
maksud. Mengisyaratkan bahwa Yella harus berpura-pura menjadi dirinya
besok pagi. “Lalu sekarang aa’ mau kemana?” Tanya Yella dengan nada
khawatir. Dia sudah bisa menebak apa yang akan dilakukan Arden setelah
ini. Namun tidak bisa mencegahnya. Tidak kuat tepatnya. “Aa’ ada
keperluan sama Raflee, sayang.” Ujar Arden sambil tersenyum. Seakan-akan
kata–katanya barusan tidak berarti apa-apa. Sungguh ringan dan seperti
obrolan biasa. Yella membalas tersenyum, hanya lebih kecut dari senyum
Arden. Kemudian Arden beranjak, sambil membuat salib di dadanya, “In
nomine Patri, et Fili, Spiritus Sancti.” Do’anya. Terdengar oleh Yella
motor Yamaha Xeon hitam kebanggan Arden yang dibelinya beberapa waktu
lalu dengan uang hadiah Kuala Lumpur
di starter, lalu mengerang menjauh. Yella membaringkan tubuhnya di
kasur Arden, menutupi dirinya dengan 2 lapisan. Satu selimut dan satu
kemeja panjang milik Arden. Hangat. Yella menitikkan air mata, berdo’a.
Sebuah gudang. Kotor. Baunya tidak sedap, lembab dan gelap karena
lampunya yang berkedip-kedip. Raflee tersungkur. Tubuh dan kepalanya
menghantam tumpukan boks barang-barang di pojok. Dia mencoba berdiri.
Terseok–seok, dia mencoba berdiri di atas kedua kakinya. “Sebentar..”
belum sempat Raflee bicara, Arden meninju mukanya dengan sangat keras
higga dia terpelanting ke belakang, menubruk barang-barang yang lainnya.
Kini sarung tangan hitam milik Arden yang biasa dia gunakan untuk pergi
ke gereja membaca Injil berlumuran darah segar. Dia berhasil mematahkan
hidung Raflee dengan tinju tadi. “Uuups!” Ujarnya dengan nada menghina.
Mendapati lawannya belum bergerak juga, dia menjinjit sedikit, lalu
memutar bohlam lampu di ruangan itu sampai pas. Sekarang lampu menyala
terang, dan keaadan jadi terlihat jauh lebih berantakan daripada tadi.
Arden lalu duduk di atas boks lain yang ukurannya sedikit lebih besar.
Raflee sendiri bangun, lalu dengan tertatih-tatih menyandarkan
punggungnya ke dinding. “Hei Raf.” Arden membuka percakapan. “Ya?” “Kau
ingat Kuala Lumpur?” “Ya. Kita menang kan? Hehehe.” Raflee mencoba
membuat nada bercanda, tapi gagal karena menahan sakit dari beberapa
buah giginya yang rontok dihantam kepalan Arden. “Kau ingat, penampilan
kita, ‘An Ancient Box of Our Righteousness’. Scene terakhir?” entah
mengapa, kata-kata Arden barusan memiliki penekanan yang dahsyat yang
membuat siapapun yang mendengarnya jadi ciut nyalinya. Memang pantas dia
disebut ‘artis’ atau ‘pujangga’ di FSRD karena memang kemampuannya
dalam mengolah pengucapan kata-kata dapat memanipulasi perasaan dan
pikiran lawan bicaranya. Begitu juga dengan Raflee. Tiba-tiba saja
wajahnya langsung pucat pasi.
Atmosfer seakan–akan menjadi berat, menekan nyali Raflee sampai ke
dasarnya. “Kenapa gak jawab? Kau lupa yah.” Ujar Arden ringan, tapi
dengan tekanan yang sama dengan yang tadi. Walau volumenya pelan, tapi
nadanya membuat Raflee makin ciut dibuatnya. “‘An Ancient Box of Our
Righteousness’, scene terakhir.” Sekarang Arden beranjak dari duduknya.
Di tangan kanannya dia memainkan sejenis pisau lipat model butterfly
yang terbuat dari stainless steel. Mengkilat karena cahaya menerpanya.
Raflee juga berdiri. “Oh, aku ingat sekarang, Den.” Dia kemudian
mengeluarkan pistol Berreta tipe Bobcat dari saku jasnya. Raflee tidak
sempat mengeluarkan pistolnya karena daritadi Arden menghajarnya terus
menerus dan tidak memberinya kesempatan. “Tapi Arden salah. Dia salah
kalkulasi, dia tidak menyangka aku memiliki pistol.” Pikir Raflee. Arden
kemudian mendekat. Sekitar 4-5 langkah dari hadapannya. “Jarak yang pas
untuk memecahkan kepalamu, Den.” Kata Raflee dengan nada yang mirip
dengan Arden tadi. Juga dengan penekanan yang sama. Tapi anehnya, udara
di sekitar Arden tidak berubah. Dia tetap tenang, dan matanya lurus
menatap mata Raflee. “Akulah yang akan memenangkan duel ini. Karena aku
melihat rasa takut dari matamu, Raf.” Ujar Arden dengan nada mengejek.
Raflee kehilangan kesabaran. Amarahnya tersulut. “Aaaarrghhh!” dia
mengangkat pistolnya dan mengarahkannya pada Arden. Kemudian ‘DORR!
DORR!’ dua tembakan di lepaskan. Raflee yakin bidikannya tepat.
Namun, kenyatannya sepersekian detik sebelumnya Arden sudah
mengetahui kapan dia akan menembak. Arden berhasil menunduk dan
menghindari tembakan Raflee barusan. Raflee membidik lagi. ‘DORR! DORR!
DORR!’ sekarang tiga peluru melayang. Arden koprol ke kanan dan berhasil
menghindar. Satu peluru menyerempet lengan kanannya. Dia meringis.
Raflee kemudian melepaskan dua tembakan lagi. ‘DORR! DORR!’ satu peluru
berhasil mengenai kaki
kanan Arden. Ia berjongkok. Mengerang kesakitan. “Hahahahaha rasakan
itu!” Raflee bersorak senang seolah dia akan menang. “Sekarang matilah!”
Raflee membidik kepala Arden. Lalu, ‘KLIK!’ amunisi pistolnya habis.
Raflee merogoh saku jasnya, mencari amunisi tambahan. Tapi terlambat,
Arden sudah memegang sisi tajam pisau di antara ibu jari dan
telunjuknya. Dia membidik. Sejurus kemudian dengan tangan kirinya dia
melempar pisau tersebut. Lurus, cepat, dan tepat mengenai dahi Raflee.
‘JLEB!’ Raflee ambruk tak bernyawa. Lemparan barusan sudah cukup kuat
untuk menembus tulang dahinya dan mengoyak otaknya.
Arden menghembuskan nafas panjang. Dia lalu membuat salib di dadanya.
Setelah memastikan Raflee mati, dia kemudian berjinjit lagi, memutar
bohlam sampai lepas dan jatuh ke lantai. Ruangan menjadi sangat gelap.
Seperti pementasan teather yang telah usai. Arden lalu bergumam, “Hanya
seorang maestro sejati yang bisa menggunakan kata-kata sebagai senjata.
Andai aku tak mengalahkan hatimu terlebih dulu, aku pasti mati malam
ini, Raf.” Arden meninggalkan gudang tersebut. Dia menyeringai penuh
kepuasan. Dia melangkah keluar dengan tenang. Walaupun dia tahu
perempuan-perempuan di villa sudah memanggil polisi sejak dia menghajar
Raflee di villa tadi.
Arden lalu berjalan ke arah selatan, ke arah villa. Sambil
terseok-seok menahan sakit dari luka tembakan di kakinya. Beberapa meter
di depan mobil-mobil polisi dengan lampunya yang berkelip-kelip
biru-merah sudah terparkir di halaman villa. Beberapa polisi menodongnya
dengan revolver Colt di tangan mereka. Arden angkat tangan. Tersenyum.
Menyerah di sini adalah kemenangannya.
Seorang perempuan melangkah menuju tujuannya. Wajahnya segar berseri-seri. Dibalut dengan cardigan putih dan jeans
birunya, dia melangkah dengan sangat lambat. Seakan-akan dia menikmati
dan menghitung setiap pijakan kaki ukuran 39-nya itu ke trotoar kota
Bandung yang selalu dingin. Tampangnya riang. Sesekali ia bersenandung.
Lalu berjalan menyamping, menghindari pepohonan besar yang tumbuh di
trotoar. Terkadang dia terlibat dalam keramaian. Namun tubuhnya yang
langsing berisi membuatnya mudah untuk segera keluar dari keramaian
tersebut. Dialah Erica Yella Kristanti. Salah seorang dari 10 cum laude
lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB tahun 2010 lalu, dengan
diiringi gelak tawa dan sendu biru keluarga dan rekan-rekannya.
Sekarang, dia bisa menikmati masa rehatnya selama beberapa bulan. Tenang
karena sebuah stasiun televisi swasta tempatnya bekerja memberinya ijin
untuk beberapa hari kedepan. Ijin khusus pastinya. Perempuan umur 28
tahun itu merogoh tas kecilnya. Mengangkat secarik kertas surat. Dia
mngeceknya sekali lagi. Siapa tahu euforianya 5 hari yang lalu
membuatnya salah baca. Dia baca isi kertas tersebut sekali lagi. “Hmmm
tidak salah baca ternyata.” Ujarnya berseri-seri.
Yella ada janji hari ini. Di Kebun Binatang Kota Bandung. Yang
terletak hanya beberapa ratus meter dari kampusnya, FSRD, dulu. Membuat
otaknya tidak sengaja mengingat, memutar kembali berbagai memori di masa
kuliahnya dulu. Manis dan pahitnya. Sejurus kemudian dia termenung.
Yella memutuskan untuk menghapus niatnya untuk membiarkan otaknya
bernostalgia lebih detail. Agar ia tidak perlu mengenang rasa sakit yang
telah susah payah. “Sendirian aja neng geulis?” tanya seorang petugas
loket dengan nada khas sundanya yang kental. Yella menjawab pelan, “Iya
a’, udah ditunggu di dalem.” Yella tahu petugas tadi agak terpesona
akibat senyumnya barusan. Selembar sepuluh ribuan dia keluarkan.
“Disimpen aa’ aja yah kembalinya.” Senyum Yella kembali mengambang di
wajahnya yang manis. Kelihatannya si penjaga loket kehabisan kata-kata.
Dia hanya bisa mengerucutkan bibir dan tersenyum tanda setuju. Yella
tidak berlama-lama disana, dengan cepat dia melangkah ke dalam.
Jantungnya berpacu. Nafasnya tersengal. Dia mempercepat langkahnya.
Cenderung lari-lari kecil malah.
Sampai ke dalam, suasana sedikit sepi. Lenggang, tidak seperti
biasanya yang berjubel. Hanya terdapat beberapa pasangan muda-mudi di
pojokan dan sekumpulan piknik keluarga. Yella memutar matanya ke segala
penjuru. Mencari-cari sosok yang menunggunya. Tapi nihil. Matanya tidak
menemukan Arden. Laki-laki yang telah mengorbankan 10 tahun hidupnya
demi menebus kebebasannya. Segala cara telah Yella upayakan untuk
mengurangi masa tahanan pujaannya itu. Namun keputusan hakim sudah fixed
untuk 10 tahun masa tahanan.
Kemudian Yella melangkah lebih dalam ke Kebun Binatang. Matanya
mencari dan mencari. Namun lagi-lagi nihil dan nihil. Mulai putus asa,
tiba-tiba dia merasakan handphone miliknya bergetar di sakunya. Dia
mengambilnya dengan cepat. Ada panggilan dari nomor yang tidak
dikenalnya. “Halo?” ujarnya merdu. “Belakang kamu.” Nada suara dan
intonasi yang sangat dikenalnya. Suara Arden. Belum sempat dia menjawab,
panggilan terputus. Yella berpaling ke belakang, tidak ada siapa-siapa.
Raut ekspresinya langsung berubah menjadi kecewa. Beberapa detik
berikutnya Yella kemali menoleh ke depan. “Hai.” Sapa Arden.
Sesosok lelaki yang sangat dikenalnya. Tinggi kurus semampai.
Wajahnya yang selalu tenang, dingin dan teduh. Arden. Hanya saja
rambutnya kini dipotong cepak, berbeda ketika masih kuliah dulu,
gondrong dan poni ala emo. Berjarak beberapa meter dari tempat Yella
berpijak. Euforia Yella meledak. Dia tak kuasa menahan tangisnya. Arden
tersenyum. Senyum yang selalu dimimpikannya setiap malam, senyum yang
dia ingat selalu saat dia berdoa di gereja, senyum yang selalu menghias
hari-harinya, menjadi semangatnya untuk tetap setia menunggu selama
bertahun-tahun ini. Yella berlari. Menghambur ke pelukan Arden.
Memeluknya dengan sangat erat sampai Arden tak punya kesempatan untuk
menolaknya. Inilah yang dia inginkan. Inilah hidupnya yang tertunda
sekian lama, yang demi merengkuhnya butuh pengorbanan dan rasa sakit
yang teramat sangat. “Aku pulang, sayang. Eh, bolehkah aku panggil
sayang?” nada Arden menggoda Yella. “Tentu saja boleh, sayang.” Yella
tersendat atas kata-katanya. Lalu memandang mata Arden dalam. “Selamat
datang.” ujarnya dengan senyum termanis yang pernah dia buat selama
hidupnya.
The End
Cerpen Karangan: Fais
Facebook: http://www.facebook.com/Faieezzz
Facebook: http://www.facebook.com/Faieezzz
Tidak ada komentar:
Posting Komentar