Jumat, 23 Mei 2014

Kotak Keadilan

       Arden meninggalkan ruangan tersebut. Sebuah bangunan besar mirip gudang. Yang telah ditinggalkan pemiliknya bertahun-tahun lalu mungkin. Ruangan gelap penuh dusta, kebohongan dan amarah. Yang di sudut-sudutnya bergelantungan banyak sarang laba-laba, di setiap inchi lantainya penuh dengan debu tebal berwarna hitam. Aroma ruangan itu juga sangat menyiksa hidung. Bau kotoran tikus dan lembab karena disfungsi ventilasi. Apalagi ditambah dengan bau darah segar yang membasahi salah satu sudut ruangan tersebut. Seonggok mayat laki-laki yang tercelup di atasnya. Belum kaku, masih hangat dan berbau anyir darah. Arden mengusap hidungnya menggunakan lengan jaketnya, yang menjadi satu-satunya bagian dari jaket jeansnya yang tidak kotor terkena debu dari ruangan. Dia terus melangkah keluar. Ke arah jalan kecil dan menuju ke arah selatan. Hujan deras dan dinginnya malam di Cinunuk menjadi penambah rasa bagi panjangnya malam ini untuknya. Tersenyum, puas dan seperti hidup untuk kedua kalinya.
“Mau sampai kapan kamu mandangin dia terus Den?” tanya Raflee dengan nada canda. “Ah sialan kamu. Sarapan pagi ini aku hahaha.” jawab Arden sekenanya. Gelak tawa membahana di gedung studio FSRD ITB. Ruangan besar yang menjadi bengkel kreatif untuk segala keperluan. Seni rupa, musik, teather, fotografi dan apapun yang bisa dikerjakan di sana. Termasuk masak, tidur, nongkrong, bahkan bercinta. Para mahasiswa FSRD memang terkenal dengan penampilannya yang eksentrik. Lihat saja dua pentolan FSRD tahun ini, Arden Wijaya Kusuma dan Yohannes Lukas ‘Raflee’ Fianda, yang kemarin baru saja sukses memenangi Rights Independent Concept Art Exhibition di Kuala Lumpur, Malaysia. Mereka dan timnya, dengan konsep ‘keadilan ortodoks’ yang diangkat menjadi sebuah pementasan teather modern yang menggabungkan teather dengan seni rupa berupa hiasaan dan rias pada pemainnya juga kombinasi musik klasik, berhasil menggaet posisi utama. Tak rugi jika mereka kerap menghabiskan waktu siang malam setiap hari ditemani kaos oblong, celana jeans gembel, dan ber pak-pak rok*k, entah L.A atau sekedar kretek murahan biasa. Tak perlu kaget juga jika potongan rambut mereka juga tidak kalah kreatif dan eksentrik dari karya-karyanya.
“Lhooo.. udahan Den?” tanya Raflee melihat sahabatnya berlalu. “Iya, gak kuat aku kalo lama-lama ngliatin dia terus. Bisa-bisa aku jadi h*rny nih, gawat kan kalo artis FSRD mast*rbasi di studio.” “Hahahahaha dasar kau. Makin gila aja lama-lama.” Raflee ikut beranjak dan merangkul pundak sahabatnya itu. “Aku traktir di kantin, oke?” tanyanya. “Hahaha mau ditraktir perempuan ato jajanan ini?” “Mana ada kantin yang jualan perempuan, bego! Ahahaha.” Raflee tertawa lalu menjitak kepala Arden. “Aku traktir perempuan pun kamu pasti juga gak akan mau kan? Hahahaha kamu kan hanya untuk Yella tersayang?” goda Raflee. Sejenak Arden diam. Wajahnya kuyu seperti kehilangan energi. Ekspresinya menggambarkan dia berfikir. Matanya kosong. “Iya. Raf, semoga lah.” Ujarnya pelan. Raflee memandang mata Arden dalam. Entah apa karena Arden memang seorang maestro sandiwara atau memang itulah adanya, meskipun Raflee mencari-cari kesedihan dalam matanya, dia tidak menemukannya secuil pun. Hanya sinar datar dan tanpa makna yang bisa dia tangkap dari mata sahabatnya itu. “Semangatlah brother, bakalan aku dukung selalu kok.“ Arden hanya tersenyum karena menangkap sedikit getar dari kalimat penyemangat Raflee barusan. “Eh, mau pesen apa, Den?” Pada akhirnya mereka sadar jika sepatu mereka telah menginjak lantai kantin dari tadi. Arden menghela nafas agak panjang, “Mie bakso aja Raf.” Ujar Arden dengan senyum lebar di wajahnya. “Pedes yah.”
“Jangan, Raf. Please, aku engga mau lagi, udah cukup aku kayak begini.” Yella menangis mengiba. “Oh, jadi sekarang kamu mau nolak aku? Bukannya perjanjian kita sudah jelas ya? Kalo emang kamu mau seisi kampus tahu kalo selama ini sekolah kamu, hidup kamu, aku yang bayarin dan kamu harus jadi ‘budak’ aku buat ngeganti itu semua?” Raflee gusar. Entah karena marah atau entah karena hasratnya yang jadi tertunda untuk dilampiaskan. “Aku sekarang udah dapet sampingan Raf. Aku udah gak perlu bantuan kamu. Aku udah gak mau diperlakuin kayak pel*cur gini!” nada Yella meninggi. Raflee tertawa. “Bukannya kamu memang pel*cur ya? Dateng ke aku, minta bantuan dengan jaminan apapun kan? Jadi kalo memang ini yang aku minta, kamu engga bakal pernah punya pilihan lagi selain nurutin mau aku, ato mati malu di depan semua mahasiswa!” “Aku gak mau bohongin Arden lagi! Cuma itu!” Sejenak Raflee diam. Ekspresinya datar, tapi sepersekian detik berikutnya menjadi marah. Sangat marah. “Persetan sama dia! Dasar pel*cur sok suci!” ‘PLAK!’ Raflee menampar Yella. Tubuh moleknya berdebum membentur lantai. Yella tersungkur, Raflee mengangkatnya ke atas kasur. Apa yang bisa dia lihat selanjutnya adalah ruangan yang memudar, menghitam kabur karena kepalanya yang membentur dinding. Lalu jutaan pengulangan memori sakit dan penyesalan masa lalunya di menit-menit berikutnya memenuhi pikirannya, berjubel, seperti buih botol soda. Dia tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa menahan sakit, baik fisik maupun hatinya, yang seperti tersayat-sayat silet berkarat ketika Raflee mulai menikmati setiap inchi tubuhnya. Berharap toleransi Tuhan membebaskannya dari dosa. Menangis, menyesal, karena telah membuang diri ke tangan yang salah. Tangan yang kotor.
“Anjeh ah, kemana aja Raflee ini kok di-sms daritadi gak ada bales. Katanya mau bikin proyek? Ckck.” Gumam Arden sambil merebahkan tubuhnya ke kasur. Selesai sudah dia membuat bab satu dari skripsinya. Penelitian tentang kecenderungan pekerja seni menggunakan lagu atau sandiwara dalam unjuk rasa menuntut keadilan. Ditemani lampu meja kecil di sudut meja kecil di 2 x 4 meter kamar kosannya. Di kawasan Dago bawah, tepatnya di daerah Purnawarman. Komplek perumahan para perwira angkatan darat yang sekarang berubah wujudnya menjadi komplek pertokoan dan mall mall tinggi menjulang. Rumah yang menjadi kosannya sendiri adalah milik almarhum purna TNI Angkatan Darat. Walaupun disebut rumah, struktur rumah kosannya malah lebih mirip rumah sakit jaman dulu. Ketika diverifikasi ke pemiliknya, ternyata memang benar dulu bangunan ini adalah rumah sakit untuk kalangan pribumi saat masa penjajahan dulu. Pantas saja jika malam-malam sering terjadi kejadian yang mengerikan. Pernah suatu malam, hujan deras, terdengar suara kaki berjalan dengan menggunakan tongkat berbunyi ‘tuk.. tuk.. tuk’ di sepanjang koridor ruangan. Menimbulkan kengerian yang mencekam. Akhirnya semalaman Arden tidak berani keluar kamar. Tidak tahan karena ngeri, paginya Arden memverifikasi kejadian itu. Dan ternyata suara tersebut adalah suara langkah ibu kosnya sendiri, karena memang suka jalan-jalan di malam hari saat semua terlelap. Benar-benar hobi yang aneh.
Bosan menunggu, akhirnya Arden memutuskan untuk ke teras depan. Duduk santai menyalakan sebatang LA Lights dipadu dengan kopi hitam yang dia buat sendiri sebelumnya. Matanya melirik ke arah jam di tangannya. “Lho.. sudah jam setengah dua belas rupanya.” Gumamnya dalam hati. Dia lalu memandang ke sekitar. Gelap. Hanya lampu teras tetangga depan yang menyala selain lampu di atas kepalanya. ‘Ngiiiing… bwuuusshhh…’ sebuah pesawat terbang melintas di langit. Sayap kanan dan kirinya berkedip-kedip oleh lampu. Merah-hijau merah-hijau. Begitu kombinasinya. Sayap belakangnya juga. Berkedip-kedip seperti traffic light di atas langit. Saat mendongak ke atas, mata Arden terpikat oleh sinar biru banner besar bertuliskan ‘Bandung Electronic Center’ yang dipasang di tembok luar sebuah gedung mall. Sembari menghisap rok*knya, dia berpikir. Mencoba mengingat sesuatu. 2 detik kemudian dia teringat jika beberapa waktu yang lalu Yella bercerita padanya melalu sms jika dia sekarang mendapat pekerjaan sebagai pegawai di sebuah gerai handphone di BEC. Mall besar pusat elektronik tetangga kosannya. Perasaanya/mengembang. Merasa sangat senang, karena berarti, setiap dia pulang ke kosannya, dia bisa sekalian mengantar Yella pergi bekerja. Dan saat malam, dia bisa selalu mengantar Yella pulang ke rumah neneknya di Dago atas.
Seharusnya dimulai tadi, rutinitas paling menyenangkan dalam hidupnya dia mulai. Tapi sepulang kuliah tadi Yella mengaku dia ada suatu keperluan dengan saudaranya yang datang dari luar kota. Entah apa detailnya, dia enggan bercerita. “Duh kok jadi kepikiran ya…” pikir Arden. Dia lalu merogoh saku boxer nya, mengambil hape, lalu mengetik sms untuk Yella. “Jangan tidur dulu… sayang… hihihi.” Canda Arden dengan dirinya sendiri. Sambil senyum-senyum, Arden lalu memainkan kedua jempolnya di deretan papan qwerty handphone E63 miliknya. dia lalu membaca sekali lagi sms nya sebelum menekan tombol send. Memastikan semua kata-katanya tepat dan sempurna untuk dibaca Yella, pujaan hatinya.
Yella sayang… hehe gk papa kn ak pnggl sayang? :)
Km blm tdur kah? Aa’ ama Xeon item aa’ masi terjaga bwt km
klo km btuh dianter plng ato gmn…Yella, ak kangen..
Can’t wait for 2morrow, hope ds nite i can see you evn
4 awhile :)
Yella menangis di sudut kamar. Salah satu kamar dari besar rumah milik keluarga Raflee. Karena keluarganya yang lebih memilih tinggal di luar negeri, rumah mereka di Bandung hanya ditinggali oleh Raflee dan dua pembantunya yang setia. Setia untuk selalu tutup mulut mengetahui ulah majikannya. Yang mereka tahu, mereka bekerja, mereka dibayar, begitu saja. ‘…drrtttt… drrrtt..’ handphone Yella bergetar. Dengan lemah, Yella menguatkan diri utnuk merentangkan lengannya. Mengambil sebuah Black Berry, yang juga merupakan ‘hadiah’ dari Raflee, dari atas meja. Sms dari Arden. Yella tak kuasa lagi untuk menahan air matanya saat membaca huruf demi huruf, kata demi kata sms tersebut. Memang sedari tadi dia menguatkan diri agar tidak terlihat lemah di depan bajingan yang baru saja memperk*sanya. Tapi kali ini dia runtuh. Air matanya mengalir di wajah jelitanya yang kini pucat dan memar di beberapa bagian hasil karya tamparan Raflee. Raflee duduk di kasur menghisap rok*knya. Memasang tampang sok tidak peduli, tapi dia geram juga lama-lama. Dia lalu menghampiri Yella. Mencoba merangkul tubuhnya yang hanya tertutup selimut, walaupun pada akhirnya selalu ditolak. Raflee lalu mencium bibir Yella, mencoba menggombal dan mengerti perasaanya. “Aku tu sayang sama kamu… makannya aku bantuin kamu, Yell.” Katanya sambil terus mencoba mencium bibir Yella lagi. Yella tetap menangis, ekspresinya marah. Dia menggeleng dan mendorong muka Raflee. “…ini semua, Cuma bonus yang kamu beri ke aku kan? Ingat siapa dulu yang memulai ini semua.” Perkataan Raflee barusan menyodok hati Yella, dia terdiam. “Ini.. buat kuliah kamu bulan ini.. dan buat jajan sama Arden.” Raflee meninggalkan belasan lembar uang seratus ribuan di dekat Yella. Dia beranjak, berpakaian. “Aku ngga butuh uang kamu..!” sambil terus menangis Yella mencoba mengeraskan volume suaranya. Mencoba agar dia terdengar marah. Tapi nihil. Yang keluar malah nada parau yang serak. Jarinya mengetik sms untuk Arden, satu-satunya orang yang ingin dia temui sekarang. Hujan turun.
Arden diam. Yella diam. Hanya bunyi hujan deras di luar yang bersuara. Diiringi suara detik jam dinding yang menunjukkan pukul setengah satu lebih. “Lebih baik kamu ganti baju kamu, basah gitu. Pake baju aku aja ya, gak apa apa kan?” Ujar Arden sembari membuka lemari pakaiannya. “Pakai kaos aku dulu ajah yah. Ada kok yang udah kekecilan buat aku. Tapi bawahannya… adanya ya cuman boxer.” Nada Arden mencoba menghibur Yella. Yella tersenyum, namun tak kuasa menahan peraasaannya. Butir-butir air mata mulai turun di pipinya. “Jangan amenangis seperti itu. Harusnya kamu lega kan sudah berbagi beban ini ke aku. Ini, gantilah. Aku tunggu di luar ya. Ketuk pintu kalo udah selesai. Aku engga mau bikin satu rumah bangun semua.” Ujar Arden tenang. Tangannya mengepal di sakunya. Yella lalu mengangguk pelan. Arden keluar kamar.
“Jadi dimana dia sekarang?” tanya Arden. Ekspresinya kalem, tenang, dan teduh. Membuat Yella sangat ingin untuk memeluk tubuhnya. Bersandar di bahunya. Bahu Arden. Walau ia tahu Arden tak akan mengijinkannya. Sang pujangga FSRD yang selama ini dia idolakan. “Dia di Cinunuk. Ada sebuah villa lagi milik keluarganya di sana. Mungkin dia sedang bersama korban lain selain aku, a’.” Ujar yella pelan. Tubuhnya masih bergetar hebat. Arden merengkuh bahu Yella, lalu menatap matanya lekat-lekat. Mata bundar dan bening, dihiasi bulu mata lentik yang sangat cantik, yang selalu memukau hati setiap lelaki yang memandangnya. “Tutupi dirimu dengan beberapa lapis selimut. Ketika besok pagi ada yang membangunkan, pura-puralah tetap tertidur. Oke?” kata-kata merdu Arden mengalir penuh maksud. Mengisyaratkan bahwa Yella harus berpura-pura menjadi dirinya besok pagi. “Lalu sekarang aa’ mau kemana?” Tanya Yella dengan nada khawatir. Dia sudah bisa menebak apa yang akan dilakukan Arden setelah ini. Namun tidak bisa mencegahnya. Tidak kuat tepatnya. “Aa’ ada keperluan sama Raflee, sayang.” Ujar Arden sambil tersenyum. Seakan-akan kata–katanya barusan tidak berarti apa-apa. Sungguh ringan dan seperti obrolan biasa. Yella membalas tersenyum, hanya lebih kecut dari senyum Arden. Kemudian Arden beranjak, sambil membuat salib di dadanya, “In nomine Patri, et Fili, Spiritus Sancti.” Do’anya. Terdengar oleh Yella motor Yamaha Xeon hitam kebanggan Arden yang dibelinya beberapa waktu lalu dengan uang hadiah Kuala Lumpur di starter, lalu mengerang menjauh. Yella membaringkan tubuhnya di kasur Arden, menutupi dirinya dengan 2 lapisan. Satu selimut dan satu kemeja panjang milik Arden. Hangat. Yella menitikkan air mata, berdo’a.
Sebuah gudang. Kotor. Baunya tidak sedap, lembab dan gelap karena lampunya yang berkedip-kedip. Raflee tersungkur. Tubuh dan kepalanya menghantam tumpukan boks barang-barang di pojok. Dia mencoba berdiri. Terseok–seok, dia mencoba berdiri di atas kedua kakinya. “Sebentar..” belum sempat Raflee bicara, Arden meninju mukanya dengan sangat keras higga dia terpelanting ke belakang, menubruk barang-barang yang lainnya. Kini sarung tangan hitam milik Arden yang biasa dia gunakan untuk pergi ke gereja membaca Injil berlumuran darah segar. Dia berhasil mematahkan hidung Raflee dengan tinju tadi. “Uuups!” Ujarnya dengan nada menghina. Mendapati lawannya belum bergerak juga, dia menjinjit sedikit, lalu memutar bohlam lampu di ruangan itu sampai pas. Sekarang lampu menyala terang, dan keaadan jadi terlihat jauh lebih berantakan daripada tadi. Arden lalu duduk di atas boks lain yang ukurannya sedikit lebih besar. Raflee sendiri bangun, lalu dengan tertatih-tatih menyandarkan punggungnya ke dinding. “Hei Raf.” Arden membuka percakapan. “Ya?” “Kau ingat Kuala Lumpur?” “Ya. Kita menang kan? Hehehe.” Raflee mencoba membuat nada bercanda, tapi gagal karena menahan sakit dari beberapa buah giginya yang rontok dihantam kepalan Arden. “Kau ingat, penampilan kita, ‘An Ancient Box of Our Righteousness’. Scene terakhir?” entah mengapa, kata-kata Arden barusan memiliki penekanan yang dahsyat yang membuat siapapun yang mendengarnya jadi ciut nyalinya. Memang pantas dia disebut ‘artis’ atau ‘pujangga’ di FSRD karena memang kemampuannya dalam mengolah pengucapan kata-kata dapat memanipulasi perasaan dan pikiran lawan bicaranya. Begitu juga dengan Raflee. Tiba-tiba saja wajahnya langsung pucat pasi.
Atmosfer seakan–akan menjadi berat, menekan nyali Raflee sampai ke dasarnya. “Kenapa gak jawab? Kau lupa yah.” Ujar Arden ringan, tapi dengan tekanan yang sama dengan yang tadi. Walau volumenya pelan, tapi nadanya membuat Raflee makin ciut dibuatnya. “‘An Ancient Box of Our Righteousness’, scene terakhir.” Sekarang Arden beranjak dari duduknya. Di tangan kanannya dia memainkan sejenis pisau lipat model butterfly yang terbuat dari stainless steel. Mengkilat karena cahaya menerpanya. Raflee juga berdiri. “Oh, aku ingat sekarang, Den.” Dia kemudian mengeluarkan pistol Berreta tipe Bobcat dari saku jasnya. Raflee tidak sempat mengeluarkan pistolnya karena daritadi Arden menghajarnya terus menerus dan tidak memberinya kesempatan. “Tapi Arden salah. Dia salah kalkulasi, dia tidak menyangka aku memiliki pistol.” Pikir Raflee. Arden kemudian mendekat. Sekitar 4-5 langkah dari hadapannya. “Jarak yang pas untuk memecahkan kepalamu, Den.” Kata Raflee dengan nada yang mirip dengan Arden tadi. Juga dengan penekanan yang sama. Tapi anehnya, udara di sekitar Arden tidak berubah. Dia tetap tenang, dan matanya lurus menatap mata Raflee. “Akulah yang akan memenangkan duel ini. Karena aku melihat rasa takut dari matamu, Raf.” Ujar Arden dengan nada mengejek. Raflee kehilangan kesabaran. Amarahnya tersulut. “Aaaarrghhh!” dia mengangkat pistolnya dan mengarahkannya pada Arden. Kemudian ‘DORR! DORR!’ dua tembakan di lepaskan. Raflee yakin bidikannya tepat.
Namun, kenyatannya sepersekian detik sebelumnya Arden sudah mengetahui kapan dia akan menembak. Arden berhasil menunduk dan menghindari tembakan Raflee barusan. Raflee membidik lagi. ‘DORR! DORR! DORR!’ sekarang tiga peluru melayang. Arden koprol ke kanan dan berhasil menghindar. Satu peluru menyerempet lengan kanannya. Dia meringis. Raflee kemudian melepaskan dua tembakan lagi. ‘DORR! DORR!’ satu peluru berhasil mengenai kaki kanan Arden. Ia berjongkok. Mengerang kesakitan. “Hahahahaha rasakan itu!” Raflee bersorak senang seolah dia akan menang. “Sekarang matilah!” Raflee membidik kepala Arden. Lalu, ‘KLIK!’ amunisi pistolnya habis. Raflee merogoh saku jasnya, mencari amunisi tambahan. Tapi terlambat, Arden sudah memegang sisi tajam pisau di antara ibu jari dan telunjuknya. Dia membidik. Sejurus kemudian dengan tangan kirinya dia melempar pisau tersebut. Lurus, cepat, dan tepat mengenai dahi Raflee. ‘JLEB!’ Raflee ambruk tak bernyawa. Lemparan barusan sudah cukup kuat untuk menembus tulang dahinya dan mengoyak otaknya.
Arden menghembuskan nafas panjang. Dia lalu membuat salib di dadanya. Setelah memastikan Raflee mati, dia kemudian berjinjit lagi, memutar bohlam sampai lepas dan jatuh ke lantai. Ruangan menjadi sangat gelap. Seperti pementasan teather yang telah usai. Arden lalu bergumam, “Hanya seorang maestro sejati yang bisa menggunakan kata-kata sebagai senjata. Andai aku tak mengalahkan hatimu terlebih dulu, aku pasti mati malam ini, Raf.” Arden meninggalkan gudang tersebut. Dia menyeringai penuh kepuasan. Dia melangkah keluar dengan tenang. Walaupun dia tahu perempuan-perempuan di villa sudah memanggil polisi sejak dia menghajar Raflee di villa tadi.
Arden lalu berjalan ke arah selatan, ke arah villa. Sambil terseok-seok menahan sakit dari luka tembakan di kakinya. Beberapa meter di depan mobil-mobil polisi dengan lampunya yang berkelip-kelip biru-merah sudah terparkir di halaman villa. Beberapa polisi menodongnya dengan revolver Colt di tangan mereka. Arden angkat tangan. Tersenyum. Menyerah di sini adalah kemenangannya.
Seorang perempuan melangkah menuju tujuannya. Wajahnya segar berseri-seri. Dibalut dengan cardigan putih dan jeans birunya, dia melangkah dengan sangat lambat. Seakan-akan dia menikmati dan menghitung setiap pijakan kaki ukuran 39-nya itu ke trotoar kota Bandung yang selalu dingin. Tampangnya riang. Sesekali ia bersenandung. Lalu berjalan menyamping, menghindari pepohonan besar yang tumbuh di trotoar. Terkadang dia terlibat dalam keramaian. Namun tubuhnya yang langsing berisi membuatnya mudah untuk segera keluar dari keramaian tersebut. Dialah Erica Yella Kristanti. Salah seorang dari 10 cum laude lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB tahun 2010 lalu, dengan diiringi gelak tawa dan sendu biru keluarga dan rekan-rekannya. Sekarang, dia bisa menikmati masa rehatnya selama beberapa bulan. Tenang karena sebuah stasiun televisi swasta tempatnya bekerja memberinya ijin untuk beberapa hari kedepan. Ijin khusus pastinya. Perempuan umur 28 tahun itu merogoh tas kecilnya. Mengangkat secarik kertas surat. Dia mngeceknya sekali lagi. Siapa tahu euforianya 5 hari yang lalu membuatnya salah baca. Dia baca isi kertas tersebut sekali lagi. “Hmmm tidak salah baca ternyata.” Ujarnya berseri-seri.
Yella ada janji hari ini. Di Kebun Binatang Kota Bandung. Yang terletak hanya beberapa ratus meter dari kampusnya, FSRD, dulu. Membuat otaknya tidak sengaja mengingat, memutar kembali berbagai memori di masa kuliahnya dulu. Manis dan pahitnya. Sejurus kemudian dia termenung. Yella memutuskan untuk menghapus niatnya untuk membiarkan otaknya bernostalgia lebih detail. Agar ia tidak perlu mengenang rasa sakit yang telah susah payah. “Sendirian aja neng geulis?” tanya seorang petugas loket dengan nada khas sundanya yang kental. Yella menjawab pelan, “Iya a’, udah ditunggu di dalem.” Yella tahu petugas tadi agak terpesona akibat senyumnya barusan. Selembar sepuluh ribuan dia keluarkan. “Disimpen aa’ aja yah kembalinya.” Senyum Yella kembali mengambang di wajahnya yang manis. Kelihatannya si penjaga loket kehabisan kata-kata. Dia hanya bisa mengerucutkan bibir dan tersenyum tanda setuju. Yella tidak berlama-lama disana, dengan cepat dia melangkah ke dalam. Jantungnya berpacu. Nafasnya tersengal. Dia mempercepat langkahnya. Cenderung lari-lari kecil malah.
Sampai ke dalam, suasana sedikit sepi. Lenggang, tidak seperti biasanya yang berjubel. Hanya terdapat beberapa pasangan muda-mudi di pojokan dan sekumpulan piknik keluarga. Yella memutar matanya ke segala penjuru. Mencari-cari sosok yang menunggunya. Tapi nihil. Matanya tidak menemukan Arden. Laki-laki yang telah mengorbankan 10 tahun hidupnya demi menebus kebebasannya. Segala cara telah Yella upayakan untuk mengurangi masa tahanan pujaannya itu. Namun keputusan hakim sudah fixed untuk 10 tahun masa tahanan.
Kemudian Yella melangkah lebih dalam ke Kebun Binatang. Matanya mencari dan mencari. Namun lagi-lagi nihil dan nihil. Mulai putus asa, tiba-tiba dia merasakan handphone miliknya bergetar di sakunya. Dia mengambilnya dengan cepat. Ada panggilan dari nomor yang tidak dikenalnya. “Halo?” ujarnya merdu. “Belakang kamu.” Nada suara dan intonasi yang sangat dikenalnya. Suara Arden. Belum sempat dia menjawab, panggilan terputus. Yella berpaling ke belakang, tidak ada siapa-siapa. Raut ekspresinya langsung berubah menjadi kecewa. Beberapa detik berikutnya Yella kemali menoleh ke depan. “Hai.” Sapa Arden.
Sesosok lelaki yang sangat dikenalnya. Tinggi kurus semampai. Wajahnya yang selalu tenang, dingin dan teduh. Arden. Hanya saja rambutnya kini dipotong cepak, berbeda ketika masih kuliah dulu, gondrong dan poni ala emo. Berjarak beberapa meter dari tempat Yella berpijak. Euforia Yella meledak. Dia tak kuasa menahan tangisnya. Arden tersenyum. Senyum yang selalu dimimpikannya setiap malam, senyum yang dia ingat selalu saat dia berdoa di gereja, senyum yang selalu menghias hari-harinya, menjadi semangatnya untuk tetap setia menunggu selama bertahun-tahun ini. Yella berlari. Menghambur ke pelukan Arden. Memeluknya dengan sangat erat sampai Arden tak punya kesempatan untuk menolaknya. Inilah yang dia inginkan. Inilah hidupnya yang tertunda sekian lama, yang demi merengkuhnya butuh pengorbanan dan rasa sakit yang teramat sangat. “Aku pulang, sayang. Eh, bolehkah aku panggil sayang?” nada Arden menggoda Yella. “Tentu saja boleh, sayang.” Yella tersendat atas kata-katanya. Lalu memandang mata Arden dalam. “Selamat datang.” ujarnya dengan senyum termanis yang pernah dia buat selama hidupnya.

The End

Cerpen Karangan: Fais
Facebook: http://www.facebook.com/Faieezzz

Tidak ada komentar:

Posting Komentar